Entah perasaan macam apa
ini Mus, pernahkah kau takut sekali ketika sedang berbahagia? Seperti kau berusaha
sekuat mungkin untuk tidak larut dalam keadaan terlalu bahagia?
Mus, bolehkah aku
memanggilmu dengan sebutan ‘kita’?
Sebab dalam cerita
Portulaca kita sepakat mengakhiri kata ‘kita’ dengan tanda tanya. Maka sekali
ini saja Mus, biarkan kita mengudara..jauh…jauh..hingga luar angkasa.
***
Mau kita apakan masa depan
Mus?
Ketika diseberang sana
seseorang memutar balada cinta Joni dan Susi dengan prolog yang halus, “Hidup
sedang bergegas di reruntuh ruang kelas, dingin dan cemas”
Ketika Dua pasang kekasih
memutuskan untuk bercinta di luar angkasa.
Ketika Saija menunggu
remuk atas waktu yang tak pernah diam dengannya.
Ketika…Ketika…satu-satunya
perempuan yang kau suka sudah dalam pelukan yang lain.
***
Aku ingat beberapa menit yang lalu pernah tertawa Mus, tapi sebentar saja setelah sesuatu hinggap di kepala
lalu mengamut mengericutkan senyum. Seperti seseorang telah datang dari masa
depan mengatakan, “kau tak boleh terlalu lama berbahagia.”
Seperti seseorang yang
hadir dalam diam malammu membisikkan, “Beri kadar dan batas untuk setiap
bahagia yang kau rasakan.”
Seseorang yang datang dari
entah mengawasimu dan mengatakan, “berhati-hatilah dengan kebahagiaan.”
Begitulah Mus, aku
berusaha mencari kosa kata yang tepat untuk gejala semacam ini; bukan takut,
bukan amuk, bukan muntab, bukan sedih,
bukan kehidupan, dan bukan juga masa depan.
Mus, apakah kehidupan dan
masa depan kita telah dinujum menjadi begitu rumit? Sebab tak kita temukan kata
yang tepat untuk saling bicara. Bahkan sekedar bertatap matapun kita harus
bertanya, “Apakah ketika aku melihat ke dalam matamu akan ada aku di dalamnya?
Karena yang kulihat di matamu bukanlah bayangan, melainkan kejauhan.”
Komentar
Posting Komentar