Aku telah benar, aku masih benar,
dan aku selalu benar. Dengan demikian, aku telah hidup dan aku akan dapat hidup
dengan cara lain.*
Sudah
sewindu kami berjanji untuk tidak lagi saling peduli. Ketika Tuan memutuskan
untuk pergi, ia membuka sekaligus menutupnya dengan percakapan asing. “Bagi
kalian bertiga, saya akan selalu menjadi tokoh yang salah.”
Aku
diam saja.
Aku
dengan segala keberuntungan dan kesialan yang ada, menoleh lurus pada siaran
televisi yang semakin samar di telinga dan mata. Aku lupa tanggalnya, tapi aku
ingat warna mataharinya. Aku ingat karena ia seperti pagi yang tidak siap
dengan siang cerah, sehingga angin yang ada terdengar begitu gelisah.
“Apa aku harus meralat kata selamat pada
tinggal?”
Aku
pikir aku akan bahagia. Karena separuh dari yang Tuan sisakan adalah
penderitaan, melepasnya pergi, aku pikir aku akan berbahagia. Aku pikir aku
akan berbahagia.
***
Tuan
adalah kelelawar kesepian. Ia tinggal sekenanya dan pergi seenaknya di atas
pohon yang adalah ibuku. Aku tidak perlu bicara banyak tentang tabiat
kelelawar, ia pergi dan tinggal untuk dirinya sendiri. Aku juga tidak marah
ketika seseorang sibuk dengan dirinya sendiri, kebebasan untuk berbahagia
sendiri juga mengalir dalam darahku, darah kelelawar yang sama sekali tak kesepian
dengan kesunyian.
Aku
adalah Klio, ibu mengatakan aku seperti tumbuhan Portulaca. Karena aku lahir
dari sebatang pohon dan seekor kelewar yang kesepian, namun tumbuh menjadi
sesuatu yang lain, sesuatu yang berbeda. Walaupun nyatanya aku selalu menolak
disamakan dengan Portulaca. Sama sepertihalnya aku menolak lahir dari seekor
kelelawar.
“Aku
sampai lupa bagaimana caranya berharap dengan normal, Bu”
“Untuk
apa menjadi normal?” ketus Ibu yang selalu sibuk.
Konon
ia memang tak pernah punya waktu untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaanku. Ia
tidak suka membuang waktunya sia-sia. Pertanyaanku, salah satunya adalah wujud kesia-siaan yang nyata.
Lain hal yang tidak membuang waktu Ibu adalah ketika ia mengatakan dengan seksama
mengenai orang-orang yang disebut teman. Kalian bisa sebut ini nasihat, bahwa ibu
tidak suka ketika aku memiliki teman. Menurutnya, teman bagiku adalah sebuah kesialan.
“Satu-satunya kesialan yang kita miliki adalah percaya pada seorang
teman, Yo. Jangan pernah berikan siapapun kepercayaan, mereka akan membuatmu
sial!”
Ibu
selalu mengulang petuah yang sama setelah aku bertemu Musae. Padahal Ibu tidak
tau, ibu sungguh tidak tahu bahwa aku dan Musae bukanlah teman. Kami sama
sekali tidak berteman. Kami sama sekali tidak memiliki persamaan.
Aku
sudah terpelajar untuk tak berharap banyak pada harapan, sedangkan Musae
dibesarkan dengan harapan.
“Aku
liyan yang lain,” kata Musae pada suatu sore.
Bagiku,
Musae tumbuh seperti diktum klasik. Bahwa kesalahan yang terus-menerus sengaja
diulang, lama kelamaan akan diterima menjadi kebenaran. Ia diajarkan menaruh
harapan pada hal-hal mustahil sekalipun.
Sepertihalnya ia berharap banyak pada tetesan air pertama pada saat turun hujan.
Iya,
menurutku percaya pada harapan adalah kesalahan Musae yang terus-menerus
diulang. Perilaku
liyan yang lainnyalah, yang membuat Ibu melarangku mengunjunginya. Sedangkan
hutan gelap, tempat yang aku sebut rumah sudah terlalu lama membosankan semenjak
Tuan berubah menjadi kelelawar kesepian.
***
Siapa
yang mau bersusah payah peduli pada butiran air mana yang jatuh terlebih dahulu
ketika hujan? Bukankah hujan adalah hujan ketika butiran airnya turun
bersamaan?
Musae.
Ia selalu percaya bahwa akan ada butiran pertama yang lebih dulu jatuh. Tidak
peduli seberapa hebat hujan deras dengan butiran air mengguyur secara
bersamaan, Musae-dengan kesalahan yang selalu dimilikinya- percaya, akan ada
setitik butiran air paling hebat diantara koloni butiran lainnya diantara hujan
yang akan menerpa tanah paling pertama.
“Seperti
kompetisi, Yo! Ingat saja ini seperti seperti kompetisi.” kata Mu.
Entah setan mana yang menggerayangi
pikirannya, ia menamai butiran yang tak pernah ia temui tersebut sebagai pengharapan
pertama. Dan kita kemudian tahu, Musae adalah pemburu butiran pengharapan pertama. Kemudian Musae tidak pernah tahu, butiran pengharapan pertama yang diharapkan Musae adalah gabungan antara kesia-siaan yang
aku miliki dengan kesalahannya yang terlalu banyak berharap pada harapan.
Hingga
suatu hari aku percaya, Aku dan Musae ternyata hanya disatukan oleh satu hal; kemalangan.
***
Aku
memperhatikan Musae dari hutan gelap. Ketika awan hitam berat membawa butiran pertama
yang ia harapkan, Musae adalah orang pertama yang keluar mengadahkan kepala menantang
langit. Wajahnya adalah pendar sinar matahari, biasnya memantul jauh hingga
memasuki hutan tergelap sekalipun. Ketika Musae menikmati hujan, aku menikmati
pendar-pendar cahaya yang ia biaskan pada rumahku, sinar terang yang dingin
memasuki hutan gelap.
Suatu
malam yang aku lupa bulannya, Musae menarik keras tanganku keluar, ia
mengatakan bahwa kami harus menjadi yang pertama melihat butiran pengharapan
jatuh. Musae tidak peduli ketakutanku akan suara rusuh yang diciptakan langit,
kegilaannya dengan harapan yang sia-sia itu, adalah satu dari banyaknya hal
yang menjadi alasan, kami tidak seharusnya berteman.
“Kita
akan beruntung Yo!” teriakmu di sela-sela guntur yang hebat.
"Kita harus berdo’a lebih keras hari ini ! Kita
akan beruntung…..!” Kau teriak seperti orang gila. Sedangkan aku berusaha
mencerna apa maksud dari kata kita.
***
Aku
adalah kejauhan. Kau sebut ini kesunyian. Aku adalah kejauhan. Kau sebut ini
kesepian. Tentang Tuan, aku pikir akan menyukainya karena aku tidak begitu
mengenalnya. Untuk alasan itu, kadang aku harus tetap menjauhinya, begitu saja,
hanya agar aku tetap bisa menyukainya.
Aku dan Tuan diciptakan layaknya kutub magnet.
Tuan adalah selatan, aku adalah utara.
Dia mengajarkan aku harapan, aku kemudian tumbuh sebagai pemberontakan. Tuan
aku anggap sebagai tuntutan tak terelakkan, penanggung semua kesialan, dan
setengah sadar, aku ternyata selalu memikirkannya justru ketika aku
membencinya.
Aku
adalah kejauhan. Menghindari percakapan-percakapan panjang, menghindari lagu-lagu
sendu, menghindari epidemi patah hati di pasaran. Menyembunyikan rona kesedihan
dalam hutan, menyimpan beberapa kenangan sebagai akar agar tetap bertahan. Aku
adalah sisi-sisi berlawanan dengan tekanan-tekanan yang mungkin sial, mungkin
menakjubkan. Tak lupa dengan bergelimang bentuk pengkhianatan yang juga menakjubkan.
Aku
adalah kadang-kadang. Kadang-kadang baik, kadang-kadang buruk, dan sepenuhnya
adalah asing.
Dan
dengan sisa kejeniusan yang diberikan Tuhan, aku telah dengan telaten memilah
dan memisah kenangan mana yang pantas dan yang patut untuk diingat. Dan dia
adalah masa kecil, dia adalah sebagian dari anda, Tuan.
Bukankah
sudah kukatakan bahwa aku ini jenius? Dalam hutan gelap aku melindungi
satu-satu hal berharga yang dapat kubongkar kapan saja, satu-satu yang serba
sedikit, serba bermakna, serba langka karena terlalu sederhana. Namanya, Musae.
Namanya Tuan dan kenangan.
***
“Tak
bisakah kau anggap saja dia tamu! Tak bisakah kau berbaik hati sedikit pada
tamu?” Ibu membentakku suatu pagi ketika aku berusaha mengusir kelelawar dari
hutan.
Iya,
seluruh yang datang dalam hidupku agaknya adalah tamu, beberapa orang datang
membawa kesedihan dan kebahagiaan. Tuan datang dengan kebahagiaan, tinggal
sebentar dengan kesedihan, dan harus pergi untuk kebahagiaan. Musae datang
sebagai harapan, dan harus pergi untuk kenangan.
Perlu
waktu lama bagiku untuk sadar, bahwa harapan pada tetesan hujan pertama Musae
adalah seorang ayah yang tak kunjung pulang. Ibu mengatakan bahwa ayah Musae
pergi ke laut dan tak pernah kembali. Ibu kemudian takut, kalau-kalau aku
menukar kelelawar kesepian yang kami punya dengan sedikit harapan pada Musae.
Ibu takut, kalau-kalau aku terlalu baik
untuk memberikan kelelawar pada Musae hanya agar aku memiliki sedikit harapan,
satu hal yang tak pernah aku miliki.
***
Sekarang
Tuan adalah kejauhan, dan Musae menjelma tanda tanya. Aku kemudian memiliki
Musae dan Tuan sebagai kenangan. Aku dan Musae memang tidak pernah beruntung
pada setiap hujan, karena aku dan Musae tidak pernah menemukan butiran pertama
yang Musae impikan.
“Bagaimana
jika nasib adalah kesunyian masing-masing, dan kita tidak diperbolehkan berbagi
nasib?” Musae pergi meninggalkan pertanyaan ganjil itu pada guratan-guratan
pohon di dalam hutan, tempat dimana Tuan biasa menghabiskan kesepian.
Lantas
ketika Musae dan Tuan pergi, aku memiliki ritus
untuk selalu membagi tangis bersama hujan. Karena aku tahu, Musae dan Tuan
tidak begitu pintar membedakan mana yang air mata dan yang mana air hujan.
***
Bagaimana
aku harus mengakhirinya. Bagaimana jika kalian akan kecewa bila cerita ini
tidak akan pernah akan kalian lihat di depan mata? Bagaimana bila cerita ini
tidak akan pernah kalian dengar pada sepasang telinga? karena beberapa orang
akan takut pada ketidakpastian seperti Klio. Beberapa orang akan sedikit merasa
bersalah, sedikit kasihan, sedikit berpura-pura peduli lantas buru-buru pergi.
Mereka tidak akan mau terlibat terlalu lama dalam cerita yang tidak pasti.
Iya,
Tuan dan Musae masih terperangkap di hutan gelap dalam kepala, di belakang
mata. Sedangkan Klio masih, selalu, dan adalah tanda tanya. Bagaimana Klio akan
menjawab tanya penasaran bila ia sendiri adalah pertanyaan?
Bagaimana
aku harus mengatakannya, bahwa aku
menulis cerita ini bersama teh yang terlanjur dingin dan segurat luka di
kepala. Bisakah kau percaya bahwa aku menceritakan ini, ketika sedang sakit
kepala? Atau aku saja yang mungkin lupa, bahwa aku sebenarnya tidak pernah
tidak sakit kepala.
Bagaimana
aku harus mengatakannya, bahwa aku sudah menukar kelelawar kesepian demi
setitik harapan. Musae-yang bukan temanku- pergi membawa kelelawar kesepian,
yang bukan lagi tamuku. Musae memberikanku satu-satunya harapan yang ia
sisakan. Aku sekarang memiliki harapan dan Musae memiliki kelelawar kesepian.
Lalu aku pikir aku akan berbahagia. Memiliki harapan, aku pikir aku akan
bahagia.
Bagaimana
aku mengatakannya. Bahwa Klio bukanlah tokoh utama yang protagonis. Ia terlalu
sinis, dan beberapa pilihan harus ia ambil dengan egois. Ia adalah wujud Portulaca
yang sama sekali tak manis. Ia bahkan menukar ayahnya sendiri agar ia dapat
memiliki harapan.
Iya,
aku adalah Portulaca yang selalu merasa benar. Aku adalah Portulaca yang tak
tumbuh di taman. Aku portulaca yang tumbuh dalam hutan gelap.
*dikutip
dari novel Orang Asing, Alber Camus (hal;122)
*foto dokumentasi dari Tumbr Laut dan Nyiur, credit; Dediyandra
Komentar
Posting Komentar