Umi
Tami
Umi Tami mungkin adalah salah satu bukti atas
nama “budaya kerajaan.” Umi Tami juga mungkin, tidak akan pernah tersentuh atas
nama sejarah.
“Nama saya Tami,” katanya, dengan tekanan dialek Jawa.
Ia berdiri saja. Pandangannya pada pengunjung Istana Siak. Ia berdiri tepat depan istana peraduan, dimana
ia dulunya setia melayani kebutuhan air mandi dan minum Sultan terakhir Siak, Sultan Syarif Kasim.
Umi Tami mungkin, tokoh sampingan. Jika
kesultanan Siak diberi judul sejarah, para aktornya adalah sultan dan bangunan.
Bangunan menua, umi Tami juga.
Tapi siapa yang mau bertanya sejarah? Siapa
yang mau memperdebatkan, “Kenapa raja ataupun sultan tidak bisa mengambil air
mandinya sendiri?”
Budaya kerajaan tak pernah lepas dari
penundukan, dan, sialnya, kebanyakan perempuan adalah tumbal. Para penari
keraton, seperti dikisahkan Rachmi Diyah Larasati dalam The dance that Make You Vanish, mungkin sedikit lebih beruntung.
Mereka hanya pencitraan, bahwa rakyat harus tunduk kepada raja. Buat umi Tami,
“penundukan” adalah kenyataan.
Ketika sultan membunyikan tong, Tami paham
betul, bahwa ia mungkin harus mengambil air mandi, memanggul beberapa ember air,
dari sungai sampai ke istana, atau mungkin ia hanya perlu mengambilkan segelas
air minum untuk sultan.
Kehidupan, bagi Tami, juga bukan sesuatu
yang muluk. Ia lahir di Tegal, dan dinikahkan di usia yang masih begitu musykil
diterima akal sehat: 10 tahun. Tanpa ayah dan ibu, tanpa mengerti apa itu
pernikahan, tanpa mengerti tubuhnya.
Meninggalkan suami -yang tidak ia pahami, juga
yang tak pernah menyentuhnya- Tami memilih berjualan ikan di Jakarta. Setelah
umur 30an, ia diajak seorang kenalan untuk pergi ke Riau, Siak Inderapura,
lebih tepatnya.
Namun ia tidak begitu beruntung. Di negeri
Siak, Tami hanya berjualan sayur, kemudian, mengabdikan diri pada kesultanan.
Mengabdikan diri. Lima puluh tahun untuk
setia, bahkan ketika listrik pun belum ada.
Sejarah meninggalkan umi Tami dengan wasiat
langsung Sultan Syarif Khasim sebelum ia meninggal, “Ndak boleh nyolong, mencilok, dan karo ada yang nyuruh kamu pergi dari
rumah ini, jangan keluar dari pintu.”
Sekarang, sejarah yang tersisa bagi umi Tami
adalah ancaman pengusiran.
Tengah hari di tanggal yang ia lupa waktunya,
umi Tami didatangi segerombolan pemuda dengan truk besar, yang mengaku
saudaranya sultan. Tidak sekali dua kali, umi Tami bahkan sempat digotong ke
dalam rumah karena tidak sadarkan diri, “Toh, waktu sultan sakit siapa yang
kenal? Siapa yang nolong?” teriaknya.
Umi Tami menua, dan sampai lima puluh tahun,
sampai sekarang, umi Tami nyatanya masih tunduk- untuk wasiat terakhir dari
sultan syarif khasim, “Jangan tinggalkan rumah”
Jikalau Max Havelar, orang Belanda itu, masih
hidup, ia mungkin akan bertambah gusar. Tidak ada yang bisa disalahkan dengan “penundukan”,
tidak ada yang tahu, kenapa paternalistik begitu kental dengan adat kerajaan
dan kesultanan.
Umi Tami juga tidak pernah kesal dengan
sultan, tidak pernah bertanya kenapa sultan.
“la, ya
wong, kita pembantu” katanya.
Usianya mungkin memang sudah uzur, tapi umi
Tami, adalah salah seorang yang kembali membangkitkan kemarahan dan kegusaran
Max Havelar dari dalam kubur. *Ariyanti
Komentar
Posting Komentar