Langsung ke konten utama

Dan hidup, terbuat dari kematian orang lain yang tidak membisu.

Seperti sekarang, yang tersisa dari kenangan di jalan Enggang dua nomor dua hanyalah kesedihan, atau mungkin bisa disebut penyesalan.

Apabila kita tidak pindah, apakah keadaan akan berubah?Apakah rencana kematian dapat diubah?



Berawal dari kegilaan hidup yang nomaden, nasib mempertemukan kami dengan keluarga kecil di Enggang dua. Satu kepala keluarga yang arif bijaksana, berkumis, ramah, tanpa lupa berwibawa. Satu ibu rumah tangga yang cantik jelita, lembut, dan terlalu baik, hingga kadang, batas ketegasannya luntur disana. Kami jarang dimarahi, walaupun kamar sempit itu sering kali berisik, dindingnya kerap sekali bergerak, kipas anginnya kerap kali begertak, dan banyak suara mencak-mencak. Kami terlalu rusuh untuk menetap di keluarga yang kini makin sunyi. Tanpa anak kesayangan mereka, tanpa seseorang yang tanpa sengaja telah menjadi 'adik' bagi kami, Ridho.

Malam, 23 Sepetember
Sebenanrnya ketakutan untuk menguak kesedihan lama menjadi alasan, kenapa kami ragu untuk sekedar basa-basi, menghibur-yang mungkin tak lagi ingin dihibur-malam itu. Namun ada keresahan, pikiran kami masih terlalu rusuh, berita kematian datang terlalu mendadak. Sebulan sebelumnya, seorang teman mengirimi pesan singkat, "Ridho tak lagi ada"
Butuh waktu lama mempercayai itu. Kami mengakses jejaring sosial facebook mencari akunnya, terlihat beranda penuh duka cita. Kami masih belum percaya.

Kadang, lupa adalah satu-satunya obat. Tapi kadang, melupakan kenangan kesedihan berarti meninggalkan makna dalam, yang mungkin akan diuraikan sesudahnya.

Malam itu tangis buncah, "Ibuk kehilangan cahaya hidup, bapak juga" kata ibuk dengan suara isak yang sudah lama ditahannya. Sebenarnya tangisan adalah hal yang sangat saya benci, tapi kadang, tangisan juga adalah satu-satunya hiburan, satu-satunya cara seseorang terlepas, dari apa yang kita sebut sebagai kelegaan.

Mungkin kunjungan kami salah, tapi bukan tidak mungkin, bahwa kunjungan kami juga dijadikan luapan perasaan terdalam seorang ibu-yang ditinggalkan anak laki-laki satu-satunya, anak laki-laki kesayangannya.
.....


Awal bermula, saya pikir almarhum hanyalah remaja yang baru belajar dewasa, terkadang dia sering iseng mengetuk-ketuk pintu kamar lalu pergi, terkadang dia sering mencoba membuat lelucon-lelucon garing, terkadang dia terlihat ingin sekali diperhatikan.

Tetapi dari sana dan sampai hari ini, saya belajar satu hal. Menghargai hal-hal kecil yang diberikan orang lain. Dan almarhum terlalu sering memberikan perhatian-perhatian kecil yang sering pula saya abaikan.

Saya mulai memahami bahwa almarhum benar-benar adalah seorang yang sangat baik. Bukankah sangat jarang ada manusia yang benar-benar peduli dengan orang yang mungkin baru dikenalnya? bukankah terlalu sulit bagi sebagian orang menganggap orang yang baru dikenalnya dijadikan sebagai kakak kandungnya?

Itulah yang almarhum selalu katakan, bahwa kami adalah kakak nya. dan-mungkin saya- mengannggap hal tersebut hanyalah ungkapan basa basi yang biasa, sedangkan bagi "adik," hal tersebut mungkin sangat berharga, mungkin sangat bermakna. Sehingga ketika kami pindah, Ibuk ditegur, "Apa mama memarahi kakak? kenapa mereka pindah, apa kita punya salah?"

Diatas meja, kami melihat kumpulan foto-foto almarhum. Dikumpulkan rapi oleh ayah dan ibunya. Tulisan "Anak kami tersayang" seolah membayang, bagaimana campur aduk perasaan kedua orang yang ditinggalkannya, dengan sabar mengahadapi, dengan rapi mengumpulkan kliping-kliping koran yang memberitakan kematian anaknya. Tenggelam di laut, meninggal dengan menyisakan 'tanda-tanda' yang mungkin disesali oleh ibuk.

Tentang kematian.

Tuhan tidak sedang bermain dadu, begitu pula mungkin halnya dengan kematian

"Ketika Ibuk cuci piring, dua kali Ridho pernah bilang, kalau ia meninggal, kuburkan di dekat Ambo (kakek)"

"Sebelum pergi ke tempat pelatihan, dia berulang kali bolak-balik, menyiumi tangan ibuk, dan berteriak, saya pergi dulu, ma..saya pergi dulu, ma...saya pergi dulu, ma"

Siapa yang percaya? saat itupun respon yang didapatkan almarhum hanyalah kemarahan, mungkin karena kematian kerap dijadikan lelucon, sehingga tidak ada yang bisa menebak, bagaimana seorang akan tahu dengan ajalnya yang dekat?

Ibuk dan Bapak. Mereka yang dulunya sangat sabar menghadapi anak kos serusuh kami. Berharap, kesabaran mereka tanpa batas. Karena Ridho, menurut kami, pergi tanpa membisu. Ruh nya tetap hidup dalam pengharapan-pengharapan.

Ada makna dalam ditinggalkan dari kesedihan akan kematian, walaupun ini bukan kenangan dengan bingkai yang indah, tapi ia patut diingat, patut dikenang. Karena kehidupan, terbuat dari  kematian orang lain yang tidak membisu. Ridho tidak membisu, Kebaikannya tetap hidup.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coretan yang Terselit di Buku Harian

"Suatu hari akan kau temui seseorang yang sudi bertengkar denganmu hanya karena lampu jalan. Menertawakan suara jangkrik dan memberi variasi lebih pada suara tangisan." (Jakarta, 2016) "Seseorang memakai namamu di radio, sekali, dua kali, berkali-kali. Identitas dan informasi yang amat persis dengan dirimu sendiri." (Jakarta, 2016) "Kemerdekaan hanya akan kau dapati selama 3 menit setelah keluar dari pintu rumahmu, esoknya, kau mungkin akan kembali namun sepenuhnya telah menjadi asing." (Jakarta, 24/10/2017) "Kesedihan hanya akan menimpamu selama dua minggu. Setelah itu, kau akan tahu. Dua orang saling mencintai tak selamanya harus disatukan oleh pernikahan." (Ibu) (Jakarta, 24/10/2017) "Ingatan bekerja dengan cara yang tak pernah diduga. Kau pernah menceritakan bagaimana sebuah alunan musik mengiring ingatanmu pada 10 halaman paling dramatis yang pernah kau tulis."(Jakarta, 27 November 2016)

Songs that Helped Me Survive 2020

1. A Lady of a Certain Age - The Divine Comedy. 2. Ode To the Mets - The Strokes

Kafka dan Kesedihan yang Keras Kepala

Buku-bukulah yang menemukan sendiri pembacanya, bukan sebaliknya. Sehingga perkara memilih buku, bagi saya barangkali sama halnya dengan memilih nasib; sulit namun dapat diubah, rumit tapi juga indah. Sampai saat ini, saya masih ingat awal perjumpaan dengan Mersault pada mulanya adalah keisengan belaka. Saya dalam kondisi yang sebenarnya tidak begitu tertarik untuk membeli buku. Selain karena faktor ekonomi, alasan lainnya adalah buku-buku di toko buku tersebut biasanya tak banyak yang berubah. Rak-rak populer diisi oleh penulis yang tidak saya sukai. Maka untuk menemukan buku-buku bagus, saya harus lebih telaten. Dan benar saja, saya menemukan Mersault dalam kondisi tergencet diantara novel teenlit! Waktu itu saya masih kuliah disemester awal, saya tidak kenal siapa itu Albert Camus, saya memilih Orang Asing murni karena covernya yang terbilang asal-asalan (kalau tidak dibilang jelek) tapi justru karena itu saya tertarik. Orang Asing adalah novel paling tipis pertama yang say