Langsung ke konten utama

Demokrasi (bukan) Harga Mati



 “Demokrasi akan diterjemahkan sebagai kebebasan dalam mengungkapkan tuntutan, namun terkadang tuntutan itu sendiri “harga mati” tanpa bisa dikompromikan. Ukuran kualitatifnya lebih ditentukan besarnya pendukung dari tuntutan itu, bukan kualitas rasional tidaknya tuntutan tersebut.” (Komunikasi politik, Media, dan Demokrasi)
Nietzsche dan ‘kehendak untuk berkuasa’nya mungkin tampak hidup pada pesta demokrasi yang dilaksanakan UNP pada 30 April. Masalahnya bukan lagi benar atau salah keinginan tersebut, tapi lebih kepada rasional dan tidak rasionalnya keinginan, serta bagaimana demokrasi itu tampak diaplikasikan.
Boleh disebut, bahwa apa yang terjadi dalam pesta demokrasi pemilihan presiden UNP, adalah buah ketakutan atas apa yang dipikirkan Alexis De Tocqueville. Pemikir besar Prancis abad ke-19 ini telah lama mempertanyakan apa yang akan dihasilkan oleh sebuah sistem yang disebut demokrasi. “Apakah kesetaraan dalam berbagai kondisi (sistem pemerintahan) sudah sesuai dengan praktik kebebasan? dan dengan memberikan hak pemungutan suara kepada seluruh warga tanpa kecuali itu tidaklah menyebabkan demokrasi menjadi anarkhi?”
Pertanyaan tersebut kemudian harusnya menjadi refleksi. Demokrasi bukan lagi sekedar slogan bahwa segala sesuatu harus, dari, oleh, dan untuk rakyat. Ia lebih filosofis dari itu, ada makna yang lebih krusial di dalamnya, yakni bagaimana sistem sosial budaya masyarakat yang mendukungnya. Masyarakat, dalam hal ini, mahasiswa UNP membutuhkan komitmen menghargai kebebasan, dan yang lebih penting lagi adalah pentingnya toleransi. Berbagai penafsiran yang berbeda atas hak-hak demokratis dan prioritas sosial, individu ataupun kelompok harusnya bukan lagi menjadi persoalan, bila setiap mahasiswa yang telah menempuh pendidikan ini mampu memaknai paham kekebasan dengan benar.
Dengan pendidikan dan kebebasan akses, makhluk intelektual yang disebut mahasiwa ini harusnya tidak lagi mengartikan kebebasan secara awam. Kebebasan harusnya bukan hanya masalah paham, tapi kenyataan. Dimana kebebasan tidak lagi dikonotasikan sebagai salah satu bentuk yang liar. Mengakui bahwa setiap individu mempunyai hak dan sudut pandang yang sah adalah kebebasan. Menyadari bahwa kebebasan tidak absolute, sementara setiap individu harus mengakui kebebasan individu lain adalah tuntutan. Pada akhirnya demokrasi tumbuh sebagai sebuah tantangan, dimana keberhasilan sebuah usaha demokratis bertumpu pada pundak masyarakatnya; mahasiswa UNP. 

Ruang-ruang bebas provokasi.
Di balik itu, pesta atau mungkin akan lebih tepat bila disebut euphoria demokrasi ini ikut menunjukkan pentingnya eksistensi melalui visi-misi, kampanye kandidat, dan mungkin bahkan memasuki ruang-ruang yang lebih ekstrim, yakni provokasi. Di dunia maya, provokasi memiliki ruang yang lebih luas. Masalahnya bukan saja soal pemanfaatan kebebasan berpendapat di ruang-ruang jejaring sosial, tapi pendapat seperti apa yang harusnya meramaikan euphoria makhluk intelektual tersebut.
Seberapa banyak yang mereka baca? Seberapa paham mereka akan masalah tersebut, dan sepintar apa emotional question mereka bermain di dalamnya. Hal yang ditakutkan adalah debat dan adu argumen yang terjadi tidak lebih dari sekadar talkshow, yang sudah lama kita tahu—tidak menghasilkan apa-apa selain pretensius para pelaku dalam Jakarta Lawyers Club (JLC) misalnya. Sehingga menurut penulis, layaknya JLC, adu argumen tanpa solusi hanya akan menjadi panggung bagi mereka yang terlihat ‘narsis’ dengan paham politiknya yang baru ‘puber.’
Rentetan-rentetan fenomena pemilu -sebelum dan sesudahnya-, akhirnya membawa demokrasi kepada wujud yang lain, dimana ia terbukti tidak bisa tumbuh dalam segala kompleksitas ego pribadi dan keseimbangan emosional di atas segala perbedaan. Mungkin akan lebih bijak bila harus jujur bahwa demokrasi nyatanya hanya teori yang terlalu manis untuk dapat hidup pada pemilu UNP.
Dalam bukunya; Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Henry Subiakto menjelaskan bahwa perubahan politik menuju sebuah sistem demokratis, belum menyentuh ke segala aspek kehidupan politik. Boleh dikata, bahwa untuk sekedar membuka aspirasi pada masyarakat mungkin memang sudah terbuka selebar-lebarnya, namun kompetensi untuk pengungkapan demokrasi ini masih menjadi persoalan.
Semangat menyampaikan berbagai aspirasi yang berbeda dan kemampuan yang dimiliki warga negaranya dalam berdemokrasi masih timpang, sehingga menyebabkan demokrasi yang tumbuh menjadi tidak sehat. Akibat yang dilahirkannya pun kompleks, seperti hilangnya respek terhadap ide orang lain, atau individu maupun kelompok tertentu terlalu memaksakan kehendak  dengan mengungkapkannya secara irasional.
Akhirnya, demokrasi yang tumbuh dan bertransisi, baik itu di indonesia maupun di UNP, menjadi sebuah diskrepansi antara semangat demokrasi dan kompetensi demokrasi yang semakin menjauh. Masyarakat Indonesia dan mungkin juga mahasiswa UNP akhirnya hanya menjalankan demokrasi dengan semangat, euphoria sendiri tanpa didukung pemahaman yang cukup tentang mengapa mereka bertindak demikian.
Disini pulalah, menurut Almond Coleman, banyaknya masyarakat yang aktif, namun bila keaktifannya tersebut tanpa dukungan informasi dan pengetahun yang cukup, maka mereka lebih layak disebut Activist Irrasionality. Jadi tidak heran, perpecahan ide dan gesekan-gesekan fisik antar kelompok yang berbeda, sebutlah ke empat kandidat pertarungan pemilu ini, pada akhirnya memakan dan mengubur hidup-hidup konsep demokrasi itu sendiri.
Padahal dalam masalah ini, komunikasi seharusnya menjadi hal yang sakral. Komunikasi mempunyai peranan yang cukup penting dalam proses politik. Oleh karena itu, tidak jarang para penguasa berusaha mengendalikan atau mengawasi “komunikasi” agar mereka tetap mendapat dukungan untuk berkuasa. Seorang pemimpin politik, baik yang otoriter maupun yang demokrat, memiliki kecenderungan untuk memanipulasi atau menguasai informasi yang ada untuk masyarakatnya. Untuk itu, calon presiden terpilih harusnya mampu mengendalikan tim suksesnya, karena bila mengendalikan tim suksesnya saja tidak sanggup. Bagaimana akan mengendalikan puluhan ribu mahasiswa UNP yang akan dipimpinnya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coretan yang Terselit di Buku Harian

"Suatu hari akan kau temui seseorang yang sudi bertengkar denganmu hanya karena lampu jalan. Menertawakan suara jangkrik dan memberi variasi lebih pada suara tangisan." (Jakarta, 2016) "Seseorang memakai namamu di radio, sekali, dua kali, berkali-kali. Identitas dan informasi yang amat persis dengan dirimu sendiri." (Jakarta, 2016) "Kemerdekaan hanya akan kau dapati selama 3 menit setelah keluar dari pintu rumahmu, esoknya, kau mungkin akan kembali namun sepenuhnya telah menjadi asing." (Jakarta, 24/10/2017) "Kesedihan hanya akan menimpamu selama dua minggu. Setelah itu, kau akan tahu. Dua orang saling mencintai tak selamanya harus disatukan oleh pernikahan." (Ibu) (Jakarta, 24/10/2017) "Ingatan bekerja dengan cara yang tak pernah diduga. Kau pernah menceritakan bagaimana sebuah alunan musik mengiring ingatanmu pada 10 halaman paling dramatis yang pernah kau tulis."(Jakarta, 27 November 2016)

Kafka dan Kesedihan yang Keras Kepala

Buku-bukulah yang menemukan sendiri pembacanya, bukan sebaliknya. Sehingga perkara memilih buku, bagi saya barangkali sama halnya dengan memilih nasib; sulit namun dapat diubah, rumit tapi juga indah. Sampai saat ini, saya masih ingat awal perjumpaan dengan Mersault pada mulanya adalah keisengan belaka. Saya dalam kondisi yang sebenarnya tidak begitu tertarik untuk membeli buku. Selain karena faktor ekonomi, alasan lainnya adalah buku-buku di toko buku tersebut biasanya tak banyak yang berubah. Rak-rak populer diisi oleh penulis yang tidak saya sukai. Maka untuk menemukan buku-buku bagus, saya harus lebih telaten. Dan benar saja, saya menemukan Mersault dalam kondisi tergencet diantara novel teenlit! Waktu itu saya masih kuliah disemester awal, saya tidak kenal siapa itu Albert Camus, saya memilih Orang Asing murni karena covernya yang terbilang asal-asalan (kalau tidak dibilang jelek) tapi justru karena itu saya tertarik. Orang Asing adalah novel paling tipis pertama yang say

REMINDER

Saya teringat adegan Yusuf (Nicholas Saputra) dalam sebuah road movie Tiga Hari untuk Selamanya. Ketika ia menjelaskan pada Ambar (Adinia Wirasti) mengenai usia-usia penting dan kritis yang akan dialami manusia. Ada usia 27 dan 29 lalu 35. “Pokoknya pas lo umur 27, lo akan ngambil sebuah keputusan penting yang akan ngubah hidup lo; Jimmy Hendrix,Chairil Anwar, Kurt Cobain, itu semua meninggal diusia 27. Soekarno juga diriin Indische Partij di usia 27” ;   “Pas lo umur 29, posisi Bumi sama Planet Saturnus itu balik lagi di posisi yang sama waktu lo lahir. Nah Planet Saturunus itu, planet yang mempengaruhi alam bawah sadar lo. Itu semua, naluri alamiah lo, keluar semua. Meledak!” Saya sekarang 24.