Langsung ke konten utama

Resensi Sebuah Refleksi; Di Tempat Kejadian Perkara


Judul      : Di Tempat Kejadian Perkara
Penulis   : Pat Walsh
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Oktober 2012


Pat Walsh dan Sebuah Refleksi Sejarah

Jika teman-teman telah menonton Film Balibo yang disutradarai Robert Connoly, buku Di tempat Kejadian Perkara ini, mungkin adalah bentuk jawaban dari pertanyaan-pertanyaan, seperti apa Timor Leste setelah kemerdekaannnya? Apa yang sebenarnya terjadi di Timor-Timur ketika masih menjadi bagian NKRI? Atau mungkin, apakah Timor-Timur benar-benar pernah menjadi bagian dari Indonesia?
Pat Walsh sebagai penulis berusaha menekankan, bahwa ia bukan seorang yang anti-Indonesia. Fokusnya adalah masalah HAM. Kumpulan tulisan, refleksi dan juga puisi yang ia kumpulkan dalam 402 halaman ini, adalah hasil dari apa yang ia rasakan selama berada di Timor Leste. Selama sebelas tahun bekerja di Timor Leste dan ikut dalam rekonsiliasi Timor leste setelah berdaulat.
Timor Leste saat ini seperti yang disampaikan pat Walsh dalam bukunya, sedang dalam proses menemukan kembali dirinya sebagai sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah yang terjadi terhadap Timor timur diakui bukanlah sebuah kenangan yang patut dikenang dalam sebuah frame yang manis. Namun orang perlu tahu mengenai sejarah sebagaimana orang perlu tahu akan kebenaran. Kendati sejarah dan arsip mengenai Timor Leste belum bisa ditemukan secara gamblang baik di Indonesia maupun di Timor Leste, tulisan, refleksi dari Pat walsh bisa sedikit memberikan gambaran mengenai apa yang terjadi pada masa-masa penting sekaligus mengerikan tersebut. 
Tulisan pertama Pat Walsh dalam buku ini dibuka dengan sebuah judul yang menarik; Soeharto, Lelaki dan warisannya. Dengan penekanan bahwa penulis bukanlah anti Indonesia, ia secara terbuka mengungkap dua versi Soeharto. Dua versi yang kontradiktif. Walaupun diakui memiliki kecakapan politik, tetap saja rumah yang Soeharto bangun memiliki cacat mendasar, hasil arsitektur yang buruk dan tak mampu bertahan dari badai. Kesalahannya adalah pada sistem check and balances pada sector public dan swasta, sehingga korupsi dan bisnis gelap tumbuh sebagai sebuah penyakit yang terlanjur kronis. Selain itu, kecenderungan akan metode pemerintahannya yang otoriter, atas dasar jiwa militernya yang kuat serta prinsip kuno jawa, membuat Soeharto cenderung berpikir sebagai raja ketimbang seorang presiden yang modern. Hal ini kemudian membuat tragedi di masa pemerintahannya harus dibayar dengan ongkos dan korban jiwa yang sedemikian rupa.
Kini, salah satu ketakutan terhadap apa yang telah terjadi di Timor Leste adalah kecenderungan adanya kebijakan membiarkan atau bahkan melindungi pelaku kejahatan dari tanggung jawab dan sanksi yang telah dilakukan (impunitas). Bila yang dipersepsikan ini benar, maka Indonesia memang harus menghadapi kenyataan bahwa invansi yang dilakukan terhadap Timor Timur waktu itu adalah sebuah pelanggaran HAM berat. Namun sampai sekarang, belum ada tindak lanjut, belum ada kejelasan hukum, belum ada yang bisa membayar apa-apa atas penderitaan dan kengerian. Baik Indonesia maupun Timor Leste membiarkan sejarah ini menjadi sebuah penyerangan dimana kedua penyerang sama-sama benar dan sama-sama menjadi korban. Absurd?
Pat Walsh lalu membuatkan fenomena ini dalam sebuah pernyataan yang menohok, “Namun, baik Indonesia maupun Timor-Leste tak ada yang memilih mengenang serangan terhadap Dili sebagaimana yang terjadi--latihan memalukan dalam kejahatan perang, agresi dan ketidak-kompetenan. Keduanya memilih untuk mengabaikan kebenaran yang pahit. Indonesia tidak menghukum siapa pun yang bertanggung jawab, termasuk atas kematian pasukannya sendiri, dan melalui peresmian Monumen Seroja di Jakarta pada 10 November 2002, hari Pahlawan Nasioanl, Indonesia memilih mengenang peristiwa itu dalam bentuk heroik, tanda bahwa “Kami tidak melakukan kesalahan.” Timor Leste juga memilih untuk tidak menekan titik. 7 Desember secara resmi diperingati sebagai hari pahlawan Timor Leste, membelokkan perhatian publik dari Indonesia. Orang-orang Dili dibiarkan mengenang kenyataan sebaik yang mereka bisa dan bertanya-tanya bagaimana kedua pihak bisa mengaku Berjaya pada hari yang menentukan itu."


Resensiator : Ariyanti

Terbit di Surat Kabar Kampus Ganto edisi 172 (Januari-Februari 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coretan yang Terselit di Buku Harian

"Suatu hari akan kau temui seseorang yang sudi bertengkar denganmu hanya karena lampu jalan. Menertawakan suara jangkrik dan memberi variasi lebih pada suara tangisan." (Jakarta, 2016) "Seseorang memakai namamu di radio, sekali, dua kali, berkali-kali. Identitas dan informasi yang amat persis dengan dirimu sendiri." (Jakarta, 2016) "Kemerdekaan hanya akan kau dapati selama 3 menit setelah keluar dari pintu rumahmu, esoknya, kau mungkin akan kembali namun sepenuhnya telah menjadi asing." (Jakarta, 24/10/2017) "Kesedihan hanya akan menimpamu selama dua minggu. Setelah itu, kau akan tahu. Dua orang saling mencintai tak selamanya harus disatukan oleh pernikahan." (Ibu) (Jakarta, 24/10/2017) "Ingatan bekerja dengan cara yang tak pernah diduga. Kau pernah menceritakan bagaimana sebuah alunan musik mengiring ingatanmu pada 10 halaman paling dramatis yang pernah kau tulis."(Jakarta, 27 November 2016)

Kafka dan Kesedihan yang Keras Kepala

Buku-bukulah yang menemukan sendiri pembacanya, bukan sebaliknya. Sehingga perkara memilih buku, bagi saya barangkali sama halnya dengan memilih nasib; sulit namun dapat diubah, rumit tapi juga indah. Sampai saat ini, saya masih ingat awal perjumpaan dengan Mersault pada mulanya adalah keisengan belaka. Saya dalam kondisi yang sebenarnya tidak begitu tertarik untuk membeli buku. Selain karena faktor ekonomi, alasan lainnya adalah buku-buku di toko buku tersebut biasanya tak banyak yang berubah. Rak-rak populer diisi oleh penulis yang tidak saya sukai. Maka untuk menemukan buku-buku bagus, saya harus lebih telaten. Dan benar saja, saya menemukan Mersault dalam kondisi tergencet diantara novel teenlit! Waktu itu saya masih kuliah disemester awal, saya tidak kenal siapa itu Albert Camus, saya memilih Orang Asing murni karena covernya yang terbilang asal-asalan (kalau tidak dibilang jelek) tapi justru karena itu saya tertarik. Orang Asing adalah novel paling tipis pertama yang say

REMINDER

Saya teringat adegan Yusuf (Nicholas Saputra) dalam sebuah road movie Tiga Hari untuk Selamanya. Ketika ia menjelaskan pada Ambar (Adinia Wirasti) mengenai usia-usia penting dan kritis yang akan dialami manusia. Ada usia 27 dan 29 lalu 35. “Pokoknya pas lo umur 27, lo akan ngambil sebuah keputusan penting yang akan ngubah hidup lo; Jimmy Hendrix,Chairil Anwar, Kurt Cobain, itu semua meninggal diusia 27. Soekarno juga diriin Indische Partij di usia 27” ;   “Pas lo umur 29, posisi Bumi sama Planet Saturnus itu balik lagi di posisi yang sama waktu lo lahir. Nah Planet Saturunus itu, planet yang mempengaruhi alam bawah sadar lo. Itu semua, naluri alamiah lo, keluar semua. Meledak!” Saya sekarang 24.